TEMPO.CO, Jakarta – Peristiwa penganiayaan dan pamer harta yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo, anak mantan pejabat pajak bernama Rafael Alun Trisambodo, masih ramai diperbincangkan. Bahkan berdampak terhadap masyarakat yang menjadi malas bayar pajak.
Salah satu pegawai asuransi di Bandung, Jimat Santoso, mengatakan bahwa dirinya hingga sekarang tidak pernah ikhlas membayar pajak, ditambah lagi dengan adanya peristiwa tersebut. Dia menilai, pejabat pajak itu tidak pernah memikirkan bahwa uang pajak itu adalah jerih payah orang banyak.
“Tapi dinikmati sepihak tanpa menggunakan posisinya untuk kebijakan yang lebih baik,” ujar pria 28 tahun itu kepada Tempo pada Kamis, 2 Maret 2023.
Menurut Jimat, peristiwa itu berdampak pada niatnya untuk tidak membayar pajak. “Kalau misalkan bayar pajak diganti dengan ngasih santuran ke orang miskin, mending saya pilih yang kedua,” tutur dia.
Sementara, seorang ibu rumah tangga asal Cibubur bernama Aufa E. P. menceritakan bagaimana rumitnya membayar pajak. Ketika mengurus lebih bayar pajak Rp 6.000 saja, dia harus bolak-balik ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mengurusnya. “Dibalikinnya enggak ikhlas tapi repot,” ucap dia.
Dengan kerepotan tersebut, ditambah munculnya anak pejabat pajak yang suka pamer, wanita 28 tahun itu mengaku menjadi malas membayar pajak. “Malesin, kami naik Gojek masih bayar, eh anaknya naik Rubicon dari si Bapak,” kata Aufa.
Dia pun menuturkan, memang masyarakat sebenarnya tidak pura-pura mengetahui kekayaan-kekayaan mereka. Namun, ibu satu anak itu berujar, jangan menggunakan kekuatan atau power untuk melakukan hal yang arogan.
“Sebenarnya kami bayar pajak juga buat infrastruktur kami juga kan. Ya dibenahi saja, dibagusin, cepat diperbaharui. Jadi lebih aman dan nyaman,” tutur Aufa.
Berbeda dengan Jimat dan Aufa, pegawai swasta asal Cirebon, Dwi Prasetyo Nugraha, justru mengaku tidak masalah membayar pajak, karena itu kewajibannya sebagai warga negara. Urusan pejabatnya ingin korupsi uang pajak atau memperkaya diri sendiri, kata dia, menjadi urusan pribadi mereka.
“Dosa juga mereka yang tanggung, yang penting kami sudah melaksanakan kewajiban kami,” katanya.
Adapun soal anak pejabat pajak yang pamer harta, tidak menyurutkan ayah satu anak itu untuk tidak membayar pajak. Dwi lebih memilih berprasangka baik. Karena, kata dia, mungkin saja harta yang banyak itu berasal dari usaha di luar pekerjaan sebagai pegawai pajak.
Namun, pria 28 tahun itu, menyarankan agar pegawai pajak dan pemerintah untuk bekerja sesuai dengan aturan dan tidak merugikan pihak lain. “Apalagi masyarakat yang taat pajak, uang hasil pajak harus sesuai peruntukannya. Biar perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana jadi makin bagus,” ujar Dwi.
Senada dengan Dwi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Bonifatius Wisnumurti Bayuaji, mengatakan dia baru saja membayar pajak kendaraan bermotor. Melihat kasus pejabat pajak yang sedang ramai itu, dia mengaku sedikit miris, tapi tidak mengurangi niatnya untuk membayar pajak sebagai hak dan kewajiban warga negara yang taat hukum.
“Selain itu, toh juga menikmati infrastruktur dan fasilitas yang ada dari pajak walaupun mungkin belum maksimal,” kata Wisnu.
Kalau pun ada pejabat pajak yang memiliki perilaku negatif, itu menjadi masalah di internal lembaganya, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak atau DJP). Menurut dia, masalah itu di luar kapabilitasnya sebagai rakyat biasa yang jika tidak bayar pajak bisa terkena hukuman.
Pelajar berusia 22 tahun itu menyarankan agar kultur dan karakter beintegritas di lingkungan DJP perlu ditingkatkan melalui pengawasan berkala. Selain itu, Wismu melanjutkan, dari konteks permasalahan yang lagi tren ini, pendidikan dalam keluarga juga perlu dilakukan.
“Semoga dengan integritas yang ditanamkan dalam keluarga juga sejalan dengan gaya hidupnya untuk lebih sederhana dan tidak jumawa dengan kekuasaanya,” tutur Wisnu. (tempo.co)